Rabu, 31 Maret 2010

MENGATASI KENAKALAN ANAK


Banyak orang tua cenderung menerapkan hukuman kala si anak nakal atau berbuat salah. Padahal, hukuman sangat merugikan anak. Nah, bagaimana sebaiknya?

Menurut penelitian, dalam sehari semalam anak mendapatkan 460 kali kritikan dari orang dewasa, termasuk di dalamnya hukuman. Sementaran pujian, cuma 70 kali dalam sehari semalam. Duh, betapa "malang"nya si kecil!

Tapi, kenapa, sih, orang tua menghukum anak? Ada dua alasan, seperti dipaparkan psikolog Ery Soekresno. Pertama, karena orang tua punya target atau standar tingkah laku untuk anaknya, "Namun ternyata standar itu tak dilakukan oleh anak." Kedua, ada tingkah laku tertentu yang ingin dihentikan oleh orang tua. "Mungkin tingkah laku itu baik, tapi karena berlebihan, jadi harus dihentikan."

Selain itu, lanjut Ery, orang tua juga sering menghukum anak karena tak punya alternatif lain untuk menghentikan suatu tingkah laku anak.

"SESUAI" KESALAHANNYA

Menurut Ery, hukuman sudah bisa diberikan sejak sedini mungkin, yakni saat anak mulai membangkang. "Misalnya, nggak mau mandi, nggak mau makan, dan sebagainya. Pokoknya, apa saja enggak! Nah, itu berarti ia sudah mulai membangkang."

Namun dalam memberi hukuman, Ery mengingatkan, haruslah disesuaikan dengan "kesalahan" si anak. Misalnya, anak asyik menonton VCD sampai lupa waktu. Nah, hukumannya adalah ia dilarang menonton lagi. "Tapi jangan langsung melarangnya nonton VCD selama 3 bulan, misalnya. Itu namanya sewenang-wenang. Cukup misalnya, kalau hari ini nonton terlalu lama maka besoknya ia tak boleh nonton lagi."

Kemudian, beri anak kesempatan. Misalnya, setelah dihukum sehari, esoknya ia diperbolehkan menonton VCD lagi namun dibatasi cuma menonton satu judul. "Kita lihat, apakah anak bisa menepati janji. Kalau ternyata enggak bisa, esoknya jangan izinkan si anak menonton lagi." Kalau besok ia bisa menepati janji, berilah bonus boleh menonton dua judul.

Yang harus diperhatikan, ujar Ery, saat memberi hukuman kita juga harus melihat diri sendiri. Maksudnya, tega apa enggak. "Kalau enggak tega, ya, jangan beri hukuman yang berat-berat. Nanti kita malah jadi enggak konsekuen." Akibatnya, kita bisa dijadikan bulan-bulanan oleh anak. Celaka, kan!

Sering terjadi, kita suka mengancam anak, "Awas, kalau Kakak nakal lagi, nanti Bunda pergi." Tapi sering pula ancaman tersebut tak kita lakukan. Nah, cara seperti ini, menurut Ery, akan membuat anak memandang rendah ancaman. "Ah, paling Bunda cuma ngomong doang," begitu pikir si anak. "Jangan salah, lo, kemampuan anak untuk mengobservasi gerak tubuh dan mimik orang tua sangat tajam," kata Ery yang tak setuju orang tua menerapkan ancaman.

Jadi, tandas Ery, kalau memang kita sedang marah, ya, marahlah beneran. Jangan kita marah tapi muka tersenyum. Sebaliknya, jangan pula kita bilang sayang tapi nyubit atau memukul. "Itu, kan, nggak sinkron. Orang tua harus belajar membedakan antara marah dan sayang."

Yang tak kalah penting, tambah Ery, jangan pernah memberi label jika ada tingkah laku anak yang tak sesuai. "Orang tua harus memisahkan tingkah laku dan pelakunya. Tapi yang terjadi, kadang orang tua tak sadar dan membenci pelakunya."

DISIPLIN

Sebenarnya Ery lebih setuju kita menerapkan konsekuensi ketimbang hukuman. Sebab, konsekuensi berkaitan dengan disiplin, tak demikian halnya dengan hukuman. "Orang tua sering menyamakan kedua hal ini, padahal sebenarnya berbeda sekali. Hukuman adalah kontrol dari luar, sedangkan disiplin adalah kontrol dari anaknya sendiri," terangnya.

Disiplin atau disciple dalam bahasa Latin berarti belajar. Jadi, disiplin memberikan pelajaran kepada anak tentang bagaimana bertingkah laku yang seharusnya. "Dalam disiplin ada aturan, komunikasi dan penguat positif. Kalau aturan dijalankan dengan baik, anak akan mendapat hadiah. Misalnya, dipuji, dipeluk dan sebagainya, yang bisa memperkuat tingkah laku baik si anak." Sebaliknya, bila anak tak menjalankan aturan, ia akan mendapat konsekuensi.

Dengan disiplin, kita juga sekaligus menyatakan harapan kita kepada anak. "Biasanya anak akan merasa nyaman, tenang, dan damai, karena ia tahu apa yang diharapkan oleh orang tuanya." Misalnya, "Bunda ingin Kakak membereskan mainan setelah bermain." Atau sebelum bertamu ke rumah orang, kita bisa bilang, "Kita akan bertamu di rumah orang. Kalau belum dipersilakan, Kakak enggak boleh mengambil makanannya dulu, ya."

Disiplin harus diterapkan sejak dini dengan memperkenalkan beberapa aturan. Misalnya, melarang anak menyentuh stop kontak. "Tapi untuk anak yang masih dini, sebaiknya ruanganlah yang didisiplinkan," ujar Ery. Maksudnya, kita harus menciptakan lingkungan yang aman buat anak. Misalnya, kalau kita ingin vas bunga tak dipecahkan oleh anak, maka pindahkan vas tersebut ke tempat yang lebih aman. "Daripada orang tua bolak-balik bilang jangan ke anak."

Lain halnya pada anak yang lebih besar, orang tua harus mulai memberi aturan. Misalnya, "Kakak tak boleh memukul Adik karena dipukul itu sakit. Konsekuensinya, kalau Kakak memukul Adik berarti Kakak harus bermain sendiri." Atau, anak melempar mainannya, katakan, "Tidak boleh melempar-lempar mainan, karena mainan bisa rusak. Kalau Kakak melempar lagi, akan Mama ambil mainan itu untuk disimpan."

Jadi, tandas Ery, kita harus selalu berada dalam posisi membantu anak untuk bertingkah laku baik. "Jangan langsung memberi hukuman. Tapi ajarkan sebab-akibatnya, bahwa kalau ia bertingkah laku tertentu maka konsekuensinya begini."

KONSEP DIRI NEGATIF

Hukuman, terang Ery, hanya memberi tahu anak tentang kesalahannya tapi tak memberi tahu bagaimana ia seharusnya bertingkah laku. "Anak hanya tahu bahwa ia salah, tapi setelah itu so what, lalu apa? Ia tak diajarkan harus bagaimana."

Apalagi jika anak sampai diberi hukuman fisik yang juga disertai kata-kata menyakitkan. "Itu bisa membuatnya sakit hati, merasa direndahkan dan tak diberi kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakunya." Biasanya anak akan tumbuh menjadi pendendam lantaran ia tak pernah didengar dan dihargai. "Mereka juga cenderung tak bisa menyelesaikan masalah dengan baik tapi dengan hukuman juga."

Yang lebih parah, hukuman dapat merusak konsep diri anak. "Anak jadi memiliki konsep diri negatif sehingga membuatnya tak percaya diri. Bawaannya takut melulu, enggak berani tampil, takut salah, dan sebagainya. Ia merasa bahwa yang ia miliki adalah kejelekan. Ia tak bisa menemukan aspek positif dari dirinya," papar Ery.

Ery mengingatkan, usia 3 sampai sekitar 6 tahun merupakan usia pembentukan (formative years) dan biasa disebut sebagai masa keemasan (golden years) seorang anak. "Masa ini tak mungkin terulang," tukasnya. Nah, bila di masa ini anak sering dihukum berarti ia banyak dilarang. Otomatis, kebutuhan anak untuk menjelajah, berinisiatif dan memupuk rasa ingin tahu menjadi terhambat. "Anak jadi tak punya inisiatif dan tak punya pendirian."

Dampak lainnya, anak menjadi conform, selalu berpendapat sama dengan orang lain. "Ia takut berbeda dengan orang lain. Karena kalau berbeda, ia takut diomeli." Disamping, potensi anak tak terealisir. "Anak jadi tak kreatif. Ia akan takut mencoba karena sudah penuh dengan ancaman."

POPULER DI KALANGAN TEMAN

Lain halnya dengan disiplin, anak akan tahu apa konsekuensi dari tingkah lakunya. "Sehingga anak akan selalu memandang bahwa berbuat baik itu menyenangkan dan berbuat tak baik itu tak menyenangkan," bilang Ery.

Merujuk data penelitian, orang tua yang banyak melatih anak dengan batasan-batasan dan konsekuensi, biasanya akan memiliki anak yang lebih populer di kalangan teman-temannya. "Karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan, kontrol dirinya bagus, tak mudah diombang-ambingkan orang."

Anak-anak yang demikian, lanjut Ery, memiliki prinsip dan biasanya kelak menjadi pemimpin. "Mereka tahu bahwa mereka punya kelebihan tapi juga punya kekurangan. Berbeda dengan anak-anak yang sering dihukum, tahunya cuma dirinya jelek saja."

Akhirnya Ery menyarankan kita agar mencoba untuk lebih sabar dan lembut dalam menghadapi anak. "Ini memang susah. Tapi ingatlah, kesabaran kita akan berbuah bahwa anak kita juga akan menjadi orang yang sabar."

Anak adalah "potret" orang tua. Iya, kan!

Hati-hati, lo, memberi label/cap negatif pada anak akan membentuk konsep diri yang salah. Pemberian label/cap yang positif semisal "pintar" dan "cantik" juga bisa berpengaruh negatif, lo.

"Kamu ini gimana, sih? Sudah dikasih tahu jangan gangguin adik tapi masih juga diganggu. Kamu ngerti enggak, sih, kalau Mama lagi repot? Dasar anak bandel!"

Sering, kan, mendengar sang ibu atau ayah berkata demikian kala marah pada buah hatinya. Dalam keadaan "lupa diri" akibat emosi yang meluap kerap terlontar kata-kata yang memberi label pada anak. Entah "anak bandel", "anak penakut", "anak cengeng", dan sebagainya.

Menurut ahli, pemberian label/cap atau juga disebut stigma akan memberi bekas dalam diri anak dan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Karena bagi anak, label tersebut adalah suatu imej diri bahwa aku seperti itu. Jadi, lama-lama akan terbentuk dalam benaknya, "Oh, aku ini bandel, toh."

Apalagi, kata dra. S.Z. Enny Hanum, bila si pemberi label adalah orang yang mempunyai kedekatan emosi dengan anak semisal orang tua atau pengasuhnya, pengaruhnya akan sangat besar dan cepat buat anak. "Anak akan jadi ragu pada dirinya sendiri, Oh, jadi aku seperti itu. Orang tuaku sendiri mengatakan demikian, kok."

JADI NGOMPOL LAGI

Sekalipun di usia prasekolah anak belum memahami makna sebenarnya dari kata-kata label itu, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tak nyaman dengan dilontarkannya label itu. "Ia seakan-akan tak diterima dengan adanya label itu, ada sesuatu yang ditolak," terang Enny.

Jadi, anak tak tahu apa itu label baginya. Ia hanya merasakan sebagai sesuatu yang tak mengenakkan, merasa tak nyaman. Namun bukan berarti ia akan diam saja. Ia akan melampiaskan perasaan tak nyaman itu dengan berbagai cara sebagai bentuk protes. Tapi bentuk protesnya berbeda dengan anak remaja yang kalau dibilang "nakal" malah sengaja dibikin nakal, "Ah, sekalian aja aku nakal karena aku sudah kadung dicap demikian." Melainkan dalam bentuk mengompol (padahal sebelumnya anak sudah tak mengompol), mimpi buruk, menangis, menggigit-gigit kuku, menolak mengerjakan sesuatu, dan sebagainya.

Penting diketahui, perilaku/reaksi demikian juga akan muncul bila anak menemukan suatu situasi yang hampir mirip dengan di rumah. Misalnya, ia diperlakukan tak adil atau tak dimengerti di luar, maka ia akan mengompol lagi, menggigit-gigit kuku lagi, mengambek lagi, dan sebagainya. Tak demikian halnya bila ia menemukan situasi dimana ia merasa dipahami, dimengerti, dan komunikasinya menyenangkan, maka perilaku protesnya tak akan keluar.

Nah, bila anak semakin sering protes dan orang tua pun jadi makin sering marah, tentunya label tersebut akan juga semakin sering dilontarkan. Kalau sudah begitu, lambat laun akhirnya anak percaya bahwa dirinya memang nakal, misalnya. Konsep dirinya jadi salah. Kita tentu tak ingin si Upik atau si Buyung memiliki konsep diri yang salah, bukan?

BERLAKUKAN ATURAN

Itulah mengapa, Enny tak setuju orang tua memberi label pada anak. Jikapun memberi label, "sebaiknya dijelaskan dalam hal apa ia nakal atau jeleknya karena bisa saja anak melakukan sesuatu dalam niatan yang lain," terangnya. Misalnya, ia hendak membuatkan minuman sirup untuk ibunya. Selama ini ia sering melihat pembantunya kalau membuat sirup dengan cara menuang botol sirup ke dalam gelas. Nah, ia pun menirunya tapi ia tak tahu berapa takarannya sehingga dituangnya sirup itu segelas penuh. Si ibu yang melihatnya langsung marah-marah dan mengatakannya nakal, main-main dengan sirup. Padahal, si anak, kan, tidak nakal; ia hanya tak tahu berapa takarannya. Tapi akibatnya, anak jadi tak merasa nyaman, "Aku mau bikin sirup buat Ibu, kok, dibilang nakal?"

Jadi, tandas Enny, orang tua harus menyebutkan apa kesalahan anak sehingga ia dikatakan nakal. "Kalau ia mengganggu adik, misalnya, jelaskan bahwa kamu mengganggu adik padahal waktunya adik tidur. Jadi, anak diberi tahu, nakalnya kamu itu karena mengganggu adik." Dengan demikian anak tahu kenapa dirinya dikatakan nakal, sehingga dapat mencegah terjadinya pembentukan konsep diri yang salah.

Selain itu, lanjut Enny, sebaiknya orang tua juga memberlakukan berbagai aturan di rumah. Bila aturan dilanggar, ada sangsinya; sebaliknya, bila dikerjakan, ada rewards. Tentu sebelumnya aturan tersebut sudah dibicarakan dengan anak sehingga ia memahaminya. Misalnya, sebelum tidur ada aturan harus gosok gigi. Nah, bila dikerjakan, berilah pujian. Tapi bila dilanggar, jangan buru-buru bilang, "Dasar kamu anak nakal, sukanya melanggar aturan," melainkan tanyakan dulu, "Kenapa kamu enggak gosok gigi?" Siapa tahu lantaran odolnya terlalu pedas buat anak atau mulutnya lagi sariawan.

Kemudian, sebelum memberi sangsi, orang tua juga harus memberitahukan letak kesalahannya. Misalnya, ia mengambil mainan adiknya. "Biasanya anak melakukannya karena spontanitas bermain. Nah, orang tua bisa memberitahukan, Kamu mengambil milik adikmu, itu enggak boleh. Kamu harus minta izin dulu. Kalau kamu terus melakukan perbuatan itu, nanti kamu jadi anak nakal." Jadi, anak diberi tahu perilaku apa yang menyimpang.

Anak usia prasekolah, tutur konsultan psikologi anak dan keluarga ini, sudah bisa mengerti asal diberi tahu dengan bahasanya. "Kalaupun tak mengerti, orang tua harus mengulang-ulang lagi. Bukankah proses mendidik tak bisa sekali jadi melainkan harus terus-menerus?"

LABEL POSITIF

Selain memberikan label negatif, tak jarang orang tua juga memberikan label positif semisal "anak pintar", "anak cantik", "anak manis", dan sebagainya. Dibanding label negatif, pemberian label positif akan berdampak positif pula, yaitu memberi sugesti atau memacu anak untuk berperilaku seperti apa yang disebutkan. Misalnya, label "anak pintar". "Bagi anak, apa yang dilontarkan itu seolah-olah harapan orang lain padanya, sehingga ia pun akan berusaha untuk jadi anak yang pintar," tutur Enny. Jadi, label positif semacam rewards buat anak, "Oh, ternyata aku anak pintar," sehingga motivasinya besar sekali untuk belajar dan menjadi pintar.

Tapi, jangan salah, lo, pemberian label positif tak selamanya akan berdampak positif pula. "Pemberian label positif juga bisa berdampak negatif. Antara lain, anak jadi kehilangan spontanitasnya karena ada dorongan untuk memenuhi harapan orang tua. Padahal, spontanitas inilah yang menjadi ciri anak seusianya." Misalnya, ia selalu dikatakan sebagai anak manis sehingga ia pun mencoba untuk memenuhi harapan tersebut. Dalam berbagai pertemuan, ia harus menahan diri agar berperilaku sebagai anak manis. Bila anak lain berlarian ke sana ke mari dengan bebas, misalnya, ia akan duduk manis bak putri kerajaan. "Hal itu dilakukannya karena ia ingin menyenangkan orang tuanya, memenuhi harapan orang tuanya sebagai anak manis".

Jangan lupa, ingat Enny, pada usia prasekolah konsep diri anak masih kabur. "Ia belum punya kesadaran, aku ini siapa? Konsep dirinya sedang dibentuk sehingga aku ini kekurangannya di mana tak diketahuinya." Oleh karena itu, bila terjadi hal demikian, saran Enny, orang tua harus segera memperbaikinya. "Terangkan pada anak bahwa ia keliru menangkap maksud orang tua." Katakan, misalnya, "Yang Bunda maksud manis itu bukan berperilaku seperti itu." Lalu jelaskan "manis"nya itu seperti apa dan bahwa ia masih punya hak untuk bermain, "Kalau dalam acara pernikahan, kamu memang boleh bersikap demikian karena itu adalah bagian dari tata krama. Tapi di luar pesta perkawinan, kamu tak harus selalu bersikap demikian. Kamu bebas berlarian dan bermain bersama teman-temanmu." Dengan demikian, anak tahu persis kapan ia harus bersikap manis dan sikap manis seperti apa yang dikehendaki orang tuanya.

Label positif juga akan berdampak negatif bila tak sesuai realitasnya. "Bila anak terus menerus ingin memenuhi harapan orang tuanya sementara kemampuannya tak ada, tentu bisa melelahkan dan membuatnya frustrasi," terang Enny. Memang, orang tua bermaksud baik dengan memberikan label positif walupun orang tua tahu tak sesuai realitasnya, yaitu demi mendorong agar anak jadi pintar atau rajin. "Tapi kalau orang tua memberikan label diluar ukurannya, anak jadi kurang kepercayaan dirinya. Misalnya, ia obesitas atau kegemukan tapi orang tuanya bilang ia anak cantik, langsing, dan sebagainya," lanjutnya. Konsep dirinya juga jadi salah, kan!

Jadi, Bu-Pak, hati-hati, ya, dalam memberikan label positif dan terlebih lagi label negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar